Pilkada 2024 Pentingnya Pemimpin Ideal Pada Era Mineal

More articles

Oleh: Iben Gahral Umasugi (Mahasiswa Pasca Sarjana UMJ)

 

Pemilihan kepala daerah atau pilkada di Indonesia memiliki jejak historis panjang, perlu diketahui bersama bahwa pilkada di negeri ini mengalami perubahan yang berbeda dari periode ke periode.

Pilkada kita, mulai dari diangkat oleh presiden, dipilih oleh DPRD sampai dipilih langsung oleh rakyat hingga saat ini. Dengan begitu menunjukan bahwa pemilihan kepala daerah bergerak secara dinamis sesuai situasi dan kondisi yang sudah barang tentu berdasarkan dengan peraturan yang berlaku. Sebagai contoh:

Pilkada 1945, setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus saat itu sistem pemerintahan mulai dibenahi. Terbitlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai kedudukan Komite Nasional Daerah dimana kepala daerah menjalankan fungsi sebagai pemimpin KND pada daerahnya. Kepala daerah masih sama seperti sebelumnya karena kondisi politik pada awal kemerdekaan belum stabil. Setelah tiga tahun berjalan, sistem ini diperbarui dengan ditetapkan Undang-undang pengganti tahun 1945 pada tahun 1948.

Pilkada 1948, setelah kemerdekaan, pilkada berdasarkan pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang UU Pokok Pemerintah Daerah, pasal 18 ayat mengamanatkan kepala daerah ditingkat provinsi diangkat oleh presiden dari calon-calon yang diajukan DPRD Provinsi sedikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat calon.

Sementara ditingkat kabupaten sesuai pasal 18 ayat 2, kepala daerahnya diangkat oleh Mentri Dalam Negeri yang para calonnya diajukan oleh dewan perwakilan rakyat daerah/DPRD kabupaten dengan jumlah minimal dua serta maksimalnya empat orang calon.

Pilkada 1957, ketentuan pilkada dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berubah setelah digantikan dengan UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Pasal 24 ayat 1 UU ini mengamanatkan bahwa kepala daerah dipilih oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Dalam pasal 4 ayat 2, kepala daerah ditingkat I disahkan oleh presiden sedangkan kepala daerah Tingkat II disahkan oleh mentri dalam negeri.

Proses serta dinamika pilkada sebagaimana diatas terus berjalan sampai pada era-reformasi 1999 sistem pemilihan kepala daerah mulai mengalami perubahan signifikan sehingga pada tahun 2004 pasca UU No 22 Tahun 1999 lahirlah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU tersebut memberikan perubahan yang sangat besar yaitu, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan sesuai pasal 24 ayat 5. Dan bisa kita lihat bahwa berdasarkan reformasi sampai pada Tingkat perbaikan sistem pemilihan kepala daerah UU Nomor 32 Tahun 2004 ini lah menjadi tonggak karena pertama kalinya kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga pada tahun 2005, pelaksanaan pilkada pertama berlangsung di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dengan Cakada kurang lebih empat paslon dan terpilihlah Awang Faruk dan Isran Noor pada saat itu yang barang tentu diusung oleh partai dan gabungan partai.

Baca Juga :  Pileg Kab. Sula: Eks. Wartawan Menuju Bukit Harapan

Sekalipun demikian, UU No 32 Tahun 2004 pernah direvisi pada tahun 2008 pemerintah dan DPRD menjadi UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, yang mana pada atauran sebelumnya pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sementara dalam revisinya peserta pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang, tentu pembaca boleh melihat pada PKPU dan jejak historis pilkada di Indonesia.

Dalam pandangan penulis pemilu kepala daerah harusnya dijadikan sebagai instrument teropong untuk mengenal kandidat mana yang memiliki tekad pengabdian dan mana yang berhasrat kekuasaan semata sehingga pada akhirnya terbuntuh pada nominal rupiah untuk memperkaya sanak saudara, kerabat serta keluarga. Ditambah lagi dengan sistem kepartaian Indonesia kontemporer yakni party multy system atau sistem banyaknya partai sehingga pasca pemberian suara terjadinya dilematis pada konstituen sebagai pemberi hak suara.

Dalam kondisi demikian, tentu kita sangat membutuhkan sosok leadhers yang memahami arah memimpin dan yang dipimpin kemudian bertindak berdasarkan pengertian itu. Dalam konteks ini seseorang pada tahun 1997 Yulk namanya pernah menyalurkan pendapat bahwa kepemimpinan adalah proses menghargai orang lain untuk memahami dan menyepakati tentang apa yang perlu untuk dilakukan dan bagaimana hal tersebut dapat dilaksanakan secara efektiv dan proses memfasilitasi usaha individu atau kelompok (kolektif) untuk memenuhi tujuan-tujuan utama yang produktif.

Kepulauan Sula yang merupakan daerah paling Selatan di wilayah provinsi maluku utara, awal terbentuk menjadi sebuah kabupaten atau daerah otonomi baru pada tahun 2003 resmi terlepas dari daerah induknya halmahera barat bersamaan dengan halmahera utara dan halmahera selatan sehingga diangkatlah Bapak Nurdin Umasangadji sebagai penjabat kepala daerah hingga dilaksanakan pemilihan kepala daerah pertama kalinya pada kala itu terpilihlah Ahmad Hidayat Mus sebagai kepala daerah selama dua periodesasi, kemudian Hendrata Thes selama satu periode dan Hj. Fifian Adeningsi Mus hingga saat ini.

Pada konteks kepemimpinan ideal generasi milenial, untuk dapat diwujudkan tentu tidaklah mudah bagi generasi tua yang minim beradaptasi dengan kemunculan era teknologi pada kehadiran generasi tahun 80-an dan akhir tahun 1990-an hingga awal 2000-an (generasi z). kepemimpinan pada era milenial memiliki pendekatan yang khas karena digitalisasi yang merambah dunia kerja tidak lagi memungkinkan pemimpin untuk bertindak secara konvensional. Disamping itu, dibutuhkan karakter kepemimpinan yang mampu mereduksi berbagai sikap negatif dan mampu mengeluarkan semua potensi positif dari kaum milenial seperti melek teknologi, haus ilmu pengetahuan dan publikasi.

Baca Juga :  Peninggalan Yang Disahkan Oleh Raja Adityawarman

Dalam pembagian Putudepi (2018), penulis kemudian menggunakan 4 karakter kepemimpinan yang dibutuhkan pada era generasi milenial sebagai berikut:

Digital Mindset

Dengan semakin banyaknya orang yang menggunakan smartphone maka akses komunikasi antar individu pun sudah tidak bersekat lagi. Ruang pertemuan fisik pun beralih ke ruang pertemuan digital. Pemimpin pada era milenial harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi ini untuk menghadirkan proses kerja yang efisien dan efektif di dunia kerjanya. Misalnya dengan mengadakan rapat via WA ataupun anywhere pad, mengganti surat undangan tertulis dengan undangan via email ataupun telegram, dan membagi product knowledge via WA.

Jika seorang pemimpin tidak berupaya mendigitalisasi pekerjaannya pada era saat ini, maka dia akan dianggap tidak adaptif. Sebagaimana yang dilansir oleh Development Dimensions International (DDI) dalam penelitiannya tahun 2016 yang menunjukan bahwa mayoritas millenial leader lapangan pekerjaan yang fleksibel terhadap jam kerja dan tempat mereka bekerja. Tentu saja hal ini disebabkan karena kecanggihan teknologi yang membuat orang bisa update informasi, kerja dimana saja dan kapan saja.

Observer dan Active Listener

Pemimpin pada era millenial harus bisa menjadi observer dan pendengar aktif yang baik bagi bawahan dan anggota masyarakatnya. Apalagi jika mayoritas bawahannya adalah kaum millenial. Tentu hal ini disebabkan karena generasi tersebut tumbuh beriringan dengan hadirnya media sosial yang membuat mereka kecanduan untuk diperhatikan. Mereka akan sangat menghargai dan termotivasi jika diberikan kesempatan untuk berbicara, berekspresi dan diakomodasi ide-idenya. Mereka haus akan ilmu pengetahuan, pengembangan diri dan menyukai untuk berbagi pengalaman.

Agile

Pemimpin yang agile dapat digambarkan sebagai pemimpin yang cerdas melihat peluang, cepat dalam beradaptasi, dan lincah dalam memfasilitasi perubahan. Sebagaimana yang disampaikan Azzaini bahwa pemimpin yang agile adalah dia yang open minded dan memiliki ambiguility acceptance, yakni bersedia menerima ketidak jelasan dan dengan cepat dapat mengakomodasi perubahan.

Inclusive

Di dalam bahasa inggris, inclusive diartikan โ€œtermasuk di dalamnyaโ€. Secara istilah, inclusive diartikan sebagai memasuki cara berfikir orang lain dalam melihat suatu masalah. Pemimpin yang inclusive dibutuhkan pada era milenial dikarenakan perbedaan cara pandang antar individu yang semakin kompleks. Pemimpin yang inclusive diharapkan dapat menghargai setiap pemikiran yang ada dan menggunakannya untuk mencapai sebuah tujuan dan kesejahteraan bersama.

Baca Juga :  Catatan Jelang Bupati Cup II: Mengingat Kejayaan Sepak Bola Sula

Tentu untuk membawa daerah pada tingkat potensial sebagaimana paragraf sebelumnya diatas tidaklah semudah yang dipikirkan, sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa kabupaten kepulauan sula juga merupakan sebuah wilayah yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal, terluar dan terdepan (3T) bersamaan dengan pulau taliabu anaknya kepulauan sula berdasarkan peraturan presiden (Perpres) setelah dilakukannya evaluasi terhadap pelaksanaan program Pembangunan di daerah.

Pada konteks itu, sebagian pembaca pasti memikirkan kenapa kepulauan sula termasuk daerah 3T?

Nah, ada beberapa faktor utama yang menjadikan kepulauan sula masuk dalam kategori tersebut yakni,

Letak Geografis

kepulauan sula terletak di wilayah perbatasan negara, jauh dari pusat pemerintahan dan layanan publik. Kondisi geografis yang terisolasi ini menyulitkan aksesibilitas dan distribusi barang dan jasa.

Potensi Sumber Daya Alam

Kepulauan sula memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar namun belum terkelola secara optimal. Eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dapat mengancam kelestarian lingkungan dan kesejahteraan Masyarakat.

Kondisi Sosial Ekonomi

tingkat kemiskinan dan pengangguran di kepulauan sula relatif tinggi. Masyarakat sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan dengan produktivitas yang rendah.

Keterbatasan Infrastruktur

infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, Pelabuhan dan fasilitas ksehatan serta Pendidikan masih sangat terbatas. Hal tersebut menghambat pertumbuhan ekonomi dan kualitas hidup masyarakat.

Pemilihan kepala daerah seharusnya berfungsi sebagai sarana untuk menilai dan memilih kandidat yang benar-benar berkomitmen pada pengabdian publik, bukan hanya yang mengejar kekuasaan atau keuntungan pribadi. Dalam konteks sistem partai politik di Indonesia yang beragam, pemilih sering menghadapi dilema dalam memilih kandidat yang tepat.

Di Kepulauan Sula, yang merupakan daerah otonomi baru dan termasuk dalam kategori daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T), kepemimpinan yang ideal sebagai sosok pembangunan sangat penting untuk mengatasi tantangan yang ada. Sejak pemekaran wilayahnya, Kepulauan Sula telah dipimpin oleh beberapa kepala daerah dengan berbagai periode serta Upaya progresifnya dalam memimpin, termasuk Ahmad Hidayat Mus, Hendrata Thes, dan Hj. Fifian Adeningsi Mus.

Di era milenial, kepemimpinan yang efektif memerlukan karakter khusus seperti: Pemimpin harus memanfaatkan teknologi untuk efisiensi dan efektivitas kerja. Kemampuan untuk mendengarkan dan memahami kebutuhan serta aspirasi masyarakat termasuk generasi milenial, Kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan, dan mampu menghargai dan mengintegrasikan berbagai pandangan untuk mencapai tujuan kesejahteraan serta keadilan yang merata untuk semua.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest