Rindu yang Tak Berjawab: Perjuangan Anak Yatim di Bulan Ramadhan

More articles

 

Bulan Ramadhan selalu menjadi momen istimewa bagi banyak orang. Bagi sebagian, ini adalah waktu berkumpul bersama keluarga, menikmati hidangan berbuka, dan merasakan kehangatan kasih sayang. Namun, bagi seorang anak yatim, Ramadhan justru membawa kenangan yang menusuk hati—rindu yang tak berjawab, kasih yang tak lagi bisa dirasakan, dan perjuangan yang harus dilalui dalam kesendirian.

Sejak kecil, penulis telah merasakan bagaimana rasanya kehilangan sosok ibu. Menjadi anak piatu berarti tumbuh tanpa belaian kasih sayang yang seharusnya menemani setiap langkah. Rindu itu terus mengendap dalam hati, terutama di bulan suci ini, saat semua orang berbuka dengan keluarga, sementara penulis hanya bisa menatap piring kosong dengan harapan ada yang peduli.

Dulu, setiap malam Ramadhan, penulis selalu pergi ke masjid untuk shalat Tarawih. Saat itu, listrik belum masuk ke kampung, dan perjalanan menuju masjid sejauh 150 meter harus ditempuh dalam gelap. Seorang bocah kecil, yang seharusnya masih dalam dekapan ibunya, justru berjalan sendiri, hanya ditemani lampu minyak atau daun kelapa kering sebagai penerang.

Baca Juga :  Kenapa Ayah Harus Takut Minta Maaf Pada Anaknya

Sebelum Maghrib, penulis harus menyiapkan dagangan—pensi yang dimasak sendiri, kacang dan jagung rebus, atau buah duku dan mangga dari pohon di sekitar rumah. Semua itu dibawa ke masjid, bukan untuk berbuka bersama teman-teman sebaya, tetapi untuk dijual, agar ada sedikit uang untuk makan keluarga.

Saat teman-teman lain bermain riang dan menikmati jajanan yang dibelikan orang tua mereka, penulis hanya bisa berdiri di sudut, berharap ada yang membeli dagangan sederhana itu. Tidak ada uang jajan, tidak ada tangan lembut yang menyuapi, hanya ada tekad kecil yang harus bertahan demi adik-adik dan nenek yang menunggu di rumah.

Setiap sore, penulis berkeliling kampung menjajakan es batu. Jika di awal puasa es laris manis, menjelang akhir Ramadhan dagangan mulai sepi. Begitu pula di masjid, makin mendekati Lebaran, semakin sedikit orang yang datang, dan semakin sulit mendapatkan pembeli.

Baca Juga :  Empat Tips Bagi “Fresh Graduate” Untuk Raih Pekerjaan Impian

Namun, di tengah kesulitan itu, masih ada orang-orang baik yang menyisakan belas kasih. Ada pembeli yang sengaja membayar lebih dari harga dagangan, ada jamaah yang tanpa diminta membawakan sambal untuk berbuka puasa, bahkan ada yang memberi makanan karena melihat penulis hanya makan nasi tanpa lauk.

Momen-momen kecil seperti itu terasa begitu berarti. Ketika seseorang memberikan sebungkus lauk pauk, rasanya seperti mendapat hadiah terindah di dunia. Saat ada yang membelai kepala atau sekadar menanyakan, “Sudah makan, Nak?” hati yang rapuh ini seakan mendapatkan sedikit kehangatan yang lama dirindukan.

Dari perjalanan hidup ini, penulis belajar satu hal: luka masa lalu tidak boleh menjadikan kita keras, justru harus membuat kita lebih peka terhadap penderitaan orang lain. Kini, setiap kali melihat anak yatim, hati ini tergerak untuk berbagi, karena penulis tahu betul bagaimana rasanya kehilangan.

Baca Juga :  Jangan Berharap ke Manusia, Tapi Berharaplah Kepada Allah SWT Supaya Tidak Kecewa

Tidak hanya kepada anak yatim, bahkan kepada orang gila sekalipun, penulis ingin tetap berbagi. Rasa iba itu datang begitu saja, karena mungkin mereka pun, di suatu masa, pernah memiliki keluarga yang mereka rindukan, pernah memiliki impian yang akhirnya terkubur oleh kehidupan yang kejam.

Ramadhan selalu membawa kenangan yang menguras air mata. Namun, dari kesedihan itu, tumbuhlah rasa syukur dan harapan. Jika dulu ada orang-orang baik yang peduli kepada penulis, maka kini saatnya penulis melakukan hal yang sama untuk mereka yang membutuhkan.

Semoga kita semua selalu diberi hati yang lembut untuk peduli, tangan yang ringan untuk memberi, dan keberkahan untuk terus berbagi. Karena mungkin, di luar sana, ada anak yatim lain yang sedang berjuang, seperti penulis dulu—menahan lapar, menahan rindu, dan berharap ada yang peduli.

Penulis: Hasneril, S.E

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest