Hingga Mei 2022, Kejagung Hentikan 1.070 Perkara Lewat Restorative Justice

More articles

JAKARTA, Investigasi.news – Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melaporkan telah menyelesaikan 1.070 perkara dengan yang dihentikan perkara dengan pendekatan dengan restorative justice. Angka tersebut terhitung sejak tahun 2020 hingga Mei 2022.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Fadil Zumhana dalam keterangannya, Minggu 22 Mei 2022 mengatakan, penghentian kasus dengan pendekatan restoratif justice merujuk pada Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, banyak tindak pidana yang sifatnya ringan, dihentikan dan tidak dilanjutkan penuntutannya.

“Sampai dengan awal Mei 2022, Kejaksaan telah menghentikan sedikitnya 1.070 perkara, dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif,” kata Fadil

Dia menambahkan dalam menggunakan pendekatan restoratif justice ada tiga poin penting yang mesti diperhatikan. Pertama, keadilan restoratif mesti memperkuat kohesi sosial antar anggota masyarakat. Kedua, memotivasi kejaksaan untuk terlibat dalam tujuan keadilan, yaitu pemulihan, bagi mereka yang membutuhkannya. Ketiga, penerapan proses keadilan restoratif akan mendorong pelaku untuk merenungkan prilaku yang salah dan kerugian yang ditimbulkannya termasuk bagaimana ia harus merehabilitir dirinya.

Baca Juga :  Gelar Pelatihan ‘Fincourage Forum’ Bagi HRD 4 BPD, Binar Siap Dukung Pelaksanaan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan

“Harapannya adalah penerapan keadilan restoratif dapat membantu pemerintah mengurangi residivisme, melestarikan nilai-nilai keadilan lokal dan mendorong rekonsiliasi antara korban, dan pelaku di masyarakat,” jelasnya

Lebih jauh Fadil mengungkapkan bahwa sejak 2020 Kejaksaan Agung RI telah mendapat desakan dari masyarakat untuk tidak melanjutkan penuntutan terhadap tindak pidana yang tidak perlu untuk dituntut dan sifatnya ringan.

“Tidak hanya karena biaya penuntutan perkara yang mahal, tetapi masyarakat juga menuntut agar Jaksa lebih fokus kepada pemulihan korban daripada menghukum berat pelaku yang seringkali juga hidup dalam kemiskinan. Untuk mengakomodir tuntutan tersebut, Kejaksaan menggunakan kewenangan diskresinya untuk mengesampingkan perkara yang tidak perlu dituntut selama hak korban dipenuhi oleh pelaku kejahatan,” jelasnya.(T.Ab/rel)

- Advertisement -spot_img

Latest