Beranda blog Halaman 2

Prosesi Adat dan Jajar Kehormatan Sambut Kolonel I Ketut Adiyasa Ambara Sebagai Danlanud RSA Natuna

0

NATUNA ,Investigasi.News – Komandan Lanud Raden Sadjad (Danlanud RSA) Natuna yang baru, Kolonel Pnb I Ketut Adiyasa Ambara, bersama Ketua PIA Ardhya Garini Cabang 17/D.I Lanud RSA, Ny. Dewi I Ketut Adiyasa, tiba di Natuna dengan sambutan hangat di Bandara Raden Sadjad, Provinsi Kepulauan Riau.

Penyambutan dimulai dengan prosesi pengalungan bunga, pemberian hand bouquet, serta ritual tepung tawar yang dipimpin oleh Ketua Adat Natuna sebagai bentuk penghormatan kepada tamu kehormatan. Selain itu, jajaran pejabat penting, seperti Sekda Natuna, Ketua DPRD, Forkopimda, serta para tokoh agama dan adat turut hadir dalam acara ini.

Setelah prosesi di bandara, rombongan menuju gerbang Mako Lanud RSA, di mana tradisi Passing In Parade telah dipersiapkan. Pasukan jajar kehormatan yang terdiri dari perwira, Bintara, Tamtama, dan seluruh personel Lanud RSA menyambut dengan penuh semangat. Kolonel Pnb I Ketut Adiyasa Ambara berjalan melewati barisan pasukan sambil menerima penghormatan, diiringi lagu penyambutan menuju Lobby Mako Lanud RSA.

Di lobby, prosesi dilanjutkan dengan penyerahan memorandum dan simbol peralatan dinas, seperti HT, kunci kantor, dan kendaraan dinas, yang diserahkan langsung oleh Kadislog Lanud RSA. Acara ditutup dengan pemasangan papan nama jabatan Danlanud RSA serta sesi foto bersama.

Tradisi ini menjadi simbol kebersamaan dan penghormatan atas kedatangan pemimpin baru. Kehadiran Kolonel Pnb I Ketut Adiyasa Ambara diharapkan dapat membawa perubahan positif bagi Lanud RSA, khususnya dalam menjaga keamanan dan mendukung kesejahteraan masyarakat Natuna. (Hs)

Netralitas Bawaslu Taliabu Dipertanyakan: Refleksi atas Langkah Kontroversial dalam Pilkada

0
Y. Tabaika/ Korlipnas Investigasi.news

Opini: Oleh Y. Tabaika/ Korlipnas Investigasi.new

Lembaga pengawas pemilu seperti Bawaslu sejatinya berdiri sebagai benteng netralitas demokrasi. Namun, tindakan Bawaslu Kabupaten Pulau Taliabu belakangan ini memicu keraguan publik. Pemanggilan anggota KPPS yang masa tugasnya telah usai, disertai saksi Pilkada dari pasangan calon tertentu, menimbulkan tanda tanya besar terhadap independensi lembaga ini.

Langkah ini terasa janggal, terutama karena dilakukan setelah pleno KPU menetapkan pasangan Sashabila-La Ode Yasir sebagai pemenang suara terbanyak dalam Pilkada Taliabu. Absennya keterlibatan PPK maupun KPU dalam proses ini semakin mempertegas kesan adanya ketidakwajaran. Apakah ini langkah penegakan aturan, atau justru bentuk keberpihakan terselubung?

Yang lebih mengkhawatirkan adalah selektivitas pemanggilan saksi. Mengapa hanya saksi dari pasangan calon bupati yang dipanggil, sementara saksi pasangan calon gubernur diabaikan? Dengan gugatan pasangan ABDI dan CITRA-UTU yang telah dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi, langkah Bawaslu ini memunculkan persepsi bahwa ada kepentingan yang bermain di balik proses klarifikasi ini.

Ironi semakin terasa ketika Ketua Bawaslu sebelumnya menyatakan bahwa Pilkada Pulau Taliabu berlangsung aman tanpa pelanggaran serius. Pernyataan ini bertolak belakang dengan tindakan pemanggilan disertai ancaman penjemputan paksa terhadap anggota KPPS yang dianggap tidak kooperatif. Bukannya memberikan rasa aman, ancaman seperti ini justru merusak citra demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi asas keadilan dan transparansi.

Netralitas adalah syarat mutlak bagi lembaga pengawas pemilu. Tanpa itu, Bawaslu hanya akan menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan tertentu. Transparansi dalam penanganan dugaan pelanggaran sangat dibutuhkan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Jika tidak, masyarakat akan terus meragukan independensi Bawaslu dan menilai bahwa demokrasi di Pulau Taliabu telah kehilangan integritasnya.

Pertanyaan yang harus dijawab Bawaslu adalah: Apakah langkah ini benar-benar demi menegakkan keadilan pemilu, atau ada kepentingan politik tertentu yang coba dilindungi? Masyarakat menanti kejelasan, bukan sekadar formalitas. Pemilu bukan sekadar tentang pemenang, tetapi tentang kepercayaan pada sistem yang mengawalnya.

Netralitas Bawaslu Taliabu: Ujian Demokrasi yang Mencemaskan

0
Ilustrasi. ( Net)

Editorial: Investigasi.news

Langkah Bawaslu Kabupaten Pulau Taliabu, Maluku Utara yang memanggil anggota KPPS dan saksi Pilkada usai penetapan hasil pemilu memunculkan polemik tajam. Publik mempertanyakan motif di balik tindakan ini, yang dinilai tidak hanya janggal, tetapi juga berpotensi mencederai prinsip netralitas lembaga pengawas pemilu.

Dalam demokrasi, Bawaslu memiliki tanggung jawab besar sebagai penjaga integritas proses pemilu. Namun, keputusan memanggil anggota KPPS dan saksi hanya dari pasangan calon tertentu menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa pemanggilan ini dilakukan setelah pleno KPU menetapkan pasangan Sashabila-La Ode Yasir sebagai pemenang? Dan mengapa pula saksi dari pasangan calon gubernur tidak diperlakukan sama?

Ketimpangan ini menjadi ironi yang mengkhawatirkan, terutama karena sebelumnya Ketua Bawaslu menyatakan Pilkada berjalan tanpa indikasi pelanggaran serius. Ketidaksesuaian antara pernyataan dan tindakan mencerminkan kegagalan komunikasi dan strategi yang dapat merusak kepercayaan masyarakat. Ancaman penjemputan paksa terhadap anggota KPPS yang tidak memenuhi panggilan semakin memperburuk situasi, menciptakan ketegangan di tengah masyarakat yang seharusnya merasa aman dalam proses demokrasi.

Masalah ini juga diperparah oleh kurangnya transparansi. Mengapa dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dibawa ke Jakarta tanpa penjelasan yang memadai? Apa sebenarnya tujuan Bawaslu dalam menangani sembilan kasus administratif yang dilaporkan? Pertanyaan-pertanyaan ini dibiarkan menggantung tanpa jawaban yang jelas, membuka ruang bagi spekulasi dan asumsi liar.

Netralitas adalah fondasi yang tidak dapat ditawar dalam pemilu. Ketika publik mulai meragukan keberpihakan lembaga pengawas, seluruh proses pemilu terancam kehilangan legitimasi. Bawaslu Taliabu harus segera memberikan klarifikasi yang transparan dan langkah yang adil untuk memulihkan kepercayaan.

Sebagai benteng terakhir demokrasi, Bawaslu tidak boleh tergoda untuk tunduk pada tekanan politik atau kepentingan tertentu. Mereka harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Jika tidak, bukan hanya netralitas mereka yang dipertanyakan, tetapi juga masa depan demokrasi di Pulau Taliabu.

Dalam situasi seperti ini, publik tidak hanya membutuhkan kepastian, tetapi juga tindakan nyata. Netralitas tidak cukup dinyatakan dalam kata-kata; ia harus terlihat dalam setiap langkah yang diambil. Pilkada bukan sekadar tentang menang atau kalah, melainkan tentang menjunjung tinggi kepercayaan terhadap proses demokrasi yang bersih dan adil.