Negeri ini seperti telah kehilangan akal sehat. Di tengah situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan rencana anggaran penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sebesar Rp 76,6 triliun. Meski angka ini telah merosot tajam dari 119 triliun yang menjadi usulan awal, namun tetap saja naik tiga kali lipat dibanding dana Pemilu 2019.
Kita memahami banyak perubahan yang mengharuskan KPU menangguk beban anggaran. Sebut saja, misalnya, jumlah pemilih diperkirakan bertambah hingga 15 juta orang, yang juga berarti penambahan Tempat Pemungutan Suara, personel KPU, dan efek domino lainnya. Tapi, apa iya harus 300 persen? Sebagai pembanding, anggaran Pemilu tahun 2014 adalah 15,6 triliun, naik sebesar 61 persen pada 2019, yakni 25,59 triliun.
Sayangnya, peningkatan anggaran tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kepemiluan. Pengalaman Pemilu 2019 setidaknya dapat menjadi tolak ukur. Anggaran naik, tapi jumlah permasalahan Pemilu ikut naik, banyak, dan pelik. Sebutlah indikasi kecurangan di sana-sini, sistem informasi penghitungan suara yang keliru, 894 petugas yang meninggal dan 5.175 yang mengalami sakit, adanya suara pemilih yang hilang, dan seterusnya.
Lagi pula, esensi diadakannya pemilu serentak adalah penghematan anggaran. Tetapi, KPU terlihat kurang memahami esensi ini. KPU begitu bersemangat berbicara anggaran namun tak kelihatan gregetnya mengevaluasi Pemilu bobrok yang telah diselenggarakan.
Barangkali, ada baiknya KPU, Bawaslu, dan seluruh badan penyelenggara Pemilu ikut mendorong proses pemilu agar lebih demokratis secara substansial. Saat ini, ramai warga negara menggugat presidential threshold. Saya dan beberapa kolega dari DPD RI, salah satunya. Tapi kita tak pernah mendengar atau setidaknya jarang sekali suara KPU dalam konteks itu. Padahal, nyawa demokrasi ada di sini. Apa gunanya menjaga proses Pemilu demokratis bila metode penjaringan kandidat tidak demokratis?
Itulah sebabnya DPD RI sebagai lembaga memutuskan untuk ikut ambil bagian dalam uji materi pasal 222 UU Pemilu, pasal yang mengatur tentang presidential threshold. Keputusan lembaga itu telah disepakati oleh anggota DPD dalam Sidang Paripurna ke-8 Masa Sidang III Tahun 2021-2022, Jumat 18 Februari 2022.
Langkah DPD ini mungkin merupakan sejarah pertama di dunia di mana lembaga legislatif yang sejatinya merupakan pembuat UU ikut menggugat UU tersebut. Namun, langkah ini harus ditempuh setidaknya karena tiga hal. Pertama, upaya atau usul DPD memasukkan usulan revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke dalam prolegnas 2022 tidak diakomodir oleh DPR dan pemerintah. Kedua, sebagai upaya DPD mengakomodir aspirasi masyarakat dan beberapa elemen organisasi kemasyarakatan yang diperoleh dalam banyak kegiatan, antara lain rapat dengar pendapat, FGD, kunjungan kerja, dan lain-lain. Ketiga, sebagai upaya DPD menegakkan demokrasi secara substansial dalam proses Pemilu Indonesia.
Kita berharap, KPU tidak hanya menjadi lembaga penyelenggara teknis pelaksanaan Pemilu, tetapi juga lembaga yang mendorong dan menggaransi Pemilu berlangsung demokratis pada semua tahapan, termasuk tahapan penetapan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam kaitan ini, pandangan KPU terhadap presidential threshold perlu kita dengarkan.
Aturan penjaringan kandidat sangat menentukan demokratis atau tidak demokratisnya Pemilu kita. Jika pada bagian mendasar ini aturannya tidak demokratis, maka sulit mengatakan Pemilu kita demokratis, sebagus apapun kerja KPU dan setinggi apapun anggaran yang diberikan.
Biang kerok di tahap penjaringan kandidat adalah presidential threshold yang mewajibkan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif (periode sebelumnya). Analisis tentang dampak buruk syarat ambang batas ini telah banyak didiskusikan dalam berbagai forum.
Namun, yang paling substansial adalah presidential threshold nyata-nyata tidak tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pun, tidak ada frasa dalam konstitusi kita yang dapat menjadi pijakan presidential threshold. Semangat konstitusi dalam konteks Pemilu adalah membuka seluas-luasnya ruang partisipasi rakyat untuk mengajukan calon pemimpin, sementara semangat presidential threshold begitu membatasi. Pertentangan ini merupakan beban moral bagi kita semua untuk meluruskannya, demi demokrasi yang sehat.
Jadi, debat yang seharusnya dibangun adalah debat yang menjurus ke arah substansi, yakni tentang demokratisasi atau konstitusionalitas sebuah aturan, bukan melulu mengedepankan anggaran. Pengajuan anggaran jumbo oleh KPU melabrak nalar kita semua. Dalam situasi ekonomi bangsa yang memprihatinkan, KPU seharusnya kreatif melahirkan gagasan-gagasan efesiensi, bukan sebaliknya.
*) Penulis adalah Anggota DPD RI