Malut, Investigasi-, Sepekan yang lalu ada beberapa agenda dan peristiwa politik yang mewarnai kehidupan demokrasi kita. Agenda politik ini variatif. Ada agenda politik kenegaraan, pelantikan kepala daerah oleh Presiden, Retret bersama hingga Mega korupsi Bahan Bakar Minyak (BBM) oplosan yang menuai gejolak sosial, dan sebagainya.
Dari berbagai agenda politik dan peristiwa nestapa tersebut ada satu momentum politik yang menuai sorotan tajam dalam percakapan publik. Tak lain dan tak bukan adalah agenda Kepala Daerah dalam mewujudkan visi misi politik ‘kerakyatan’ pasca dilantik.
Topiknya kebanyakan tentang kerja-kerja nyata kepala daerah dalam memitigasi problem akut daerah. Ada yang pro, ada yang kontra. Saling menegasi terjadi, saling tuding hingga berpaling pandang tak dapat dielakkan meskipun proses demokrasi yang panjang itu berakhir selisih di meja pengadilan Mahkamah Konstitusi (MK) .
Di tengah situasi itu, bulan suci Ramadan menyambangi bumi. Kehadiran bulan Ramadan seperti oase di tengah padang tandus keadaban politik. Tentu bukan kebetulan. Tiada selembar daun yang jatuh kecuali perkenan Allah, tiada sebutir debu terbang kecuali juga dengan perkenan-Nya.
Hadirnya Ramadan membuat pesan-pesan langit kembali membumi di tengah hegemoni argumentasi politik mutakhir. Hadirnya Ramadan di akhir perjalanan politik Pilkada sekaligus menawarkan diskursus menarik, yakni Islam dan kepemimpinan.
Melalui pelantikan serentak hingga retret dengan serangkaian agenda penguatan fisik dan mental di lembah tidar, kini saatnya para gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota kembali untuk mengabdi kepada rakyat didaerah.
Kehadiran para penguasa didaerah tersebut tentu diwarnai banyak harapan berbagai pihak tentang sebuah tatanan kehidupan sosial politik yang ideal. Bahkan dengan kepemimpinan mereka, diharapkan semua cita-cita vital tentang kemajuan kesejahteraan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terakomodir melalui instrumen kebijakan/keputusan politik formal.
Sehingga dapat disadari bahwa kepemimpinan Kepala daerah yang lahir dari proses demokrasi elektoral adalah Amanah Rakyat yang telah didedikasikan secara langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil di bilik suara Pilkada.
Amanah yang sejatinya merupakan sumber dari legitimasi politik adalah sebuah otoritas, mandat, kepercayaan. Yang dalam nomenklatur Islam, amanah senantiasa berteman dengan sifat-sifat dapat dipercaya, kejujuran, tanggung jawab, adil dan bijaksana (demokratis) .
Bahkan jika direfleksikan, esensi dasar kepemimpinan politik adalah pemenuhan sekaligus perlindungan hak-hak asasi warga masyarakat baik yang memilih bahkan yang tidak memilih sekalipun di bilik suara.
Dengan demikian ikhtiar sesungguhnya memungkinkan bahwa kekuasaan bisa menjadi sumber petaka, karna dipastikan akan muncul sikap berikutnya yakni monopoli atas kendali kekuasaan dan berlaku Tidak Adil. Padahal dalam terminologi Islam Allah SWT telah mengingatkan;
“jangan karena kelompokmu, keluargamu, kau tidak berlaku adil pada orang lain”.
Karna sejatinya berbuat adil selalu dekat dengan takwa. (QS.Al Ma’idah: 8).
Hal tersebut dipertegas dalam sabda Nabi SAW.
Dari Abu Said Al-Khudri RA: Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah Azza Wajalla dan yang paling dekat tempat duduknya pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil, sedangkan manusia paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya di hari kiamat adalah pemimpin yang zalim.” (HR Tirmidzi).
Dan dititik inilah terjadi perjumpaan nilai antara puasa dalam Islam dan pemimpin yang sedang berkuasa. Karna kontrak politik manusia itu terbaca jelas:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia…” (QS Al-Ahzab: 72).
Quran Surat Al-Ahzab ayat 72 di atas secara tidak langsung memberi pendasaran etis pada amanah baik bagi orang-orang yang berpuasa maupun pemimpin yang sedang berkuasa yang didasarkan pada aspek moral dan spiritual sehingga pada gilirannya akan dimintai pertanggungjawaban didunia dan akhirat
Dengan demikian, aktivitas puasa dan pemimpin yang berkuasa memiliki nilai yang sama, yakni amanah bagi setiap pribadi yang menjalankannya guna mencapai ketakwaan sebagaimana orang-orang terdahulu. Hal ini relevan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq:
“Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya”
Relasi Puasa dan Penguasa!
Terminologi puasa secara syariat adalah menahan diri dari makan dan minum serta pemenuhan hasrat biologis dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Secara hakikat, makna puasa berarti menahan diri atau mengendalikan diri dari hawa nafsu duniawi yang sering kali melampaui batas dengan mengabaikan dan tidak mengindahkan nilai-nilai utama kebenaran, kebaikan, kepatutan, dan kebijaksanaan.
Pemaknaan puasa ini dalam konteks kepemimpinan politik seharusnya menjadi laboratorium untuk mengendalikan dan menahan diri dari tindakan-tindakan yang paradoksal dengan fitrah manusia. Menahan dan mengendalikan diri dari perilaku flexing, arogan, kesombongan, dan keangkuhan.
Dalam arti yang lebih luas, puasa adalah medium membebaskan manusia dari tindakan-tindakan yang kontras dengan nilai-nilai kemanusiaan, seperti dominasi struktur yang menindas, diskriminasi, hegemoni, tirani, dan sebagainya.
Puasa dalam konteks ini juga seharusnya menjadi media pertahanan sekaligus pengendalian diri dari nafsu-nafsu keduniawian yang paradoksal dengan nilai dan prinsip keadilan, seperti pembuatan kebijakan, produk politik atau diskresi yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat kecil, mempertimbangkan moralitas publik, dan memperhatikan nilai kemaslahatan serta meminimalisasi kemudharatan.
Dalam menjalankan ibadah puasa seseorang harus mampu menahan “hawa nafsu” maka jika ia tidak mampu menahan, puasa yang ia lakukan akan menjadi batal. Kondisi seperti ini hampir sama dengan “passion” kekuasaan bagi pemimpin politik saat menghadapi masa kepemimpinannya, tidak sedikit orang yang tidak mampu menahan “hawa nafsu” mereka dengan melanggar segala norma/peraturan hingga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Pelaksanaan ibadah puasa tentu diharapkan menjadi sarana pencapaian tujuan paripurna yakni “La’allakum Tattaquun” melahirkan pribadi muslim yang bertakwa (QS. Al Baqarah: 183).
Puasa Ramadan dan pemimpin yang berkuasa sesunggungnya memiliki korelasi filosofis, yakni pencapaian spiritualitas konstruktif dan moralitas kolektif.
Menjalankan Puasa selama periode Ramadhan dan aktivitas pemimpin yang berkuasa memiliki komitmen moral yang kohesif. Pencapaian spiritualitas kontruktif dalam arti bahwa ibadah puasa tidak memusatkan aktivitasnya hanya secara vertikal kepada Sang Pencipta, namun juga ada peranan manusia sebagai pemimpin di muka bumi ini yang berperan mengelola dan memakmurkannya (Khalifah fil ard).
Dengan demikian, kerja-kerja kepemimpinan politik tidak hanya memusatkan aktivitas pada dimensi antroposentris, melainkan perlu ada orientasi teosentris yang melibatkan “Tuhan” dalam segala hal serta melandaskan aktivitas politik itu pada nilai-nilai moral dan spiritual.
Semoga dengan berpuasa, hati pemimpin kita senantiasa konsisten pada amanah, selalu peduli kepada umat, melayani dan turut serta merasakan penderitaan rakyat. Dengan demikian kepemimpinan politik bak menjadi ladang ibadah, pintu berkah, dan jalan jihad (fisabilillah) untuk membela yang lemah.
Selamat Menjalankan Ibadah Puasa.
Oleh: Risman Tidore (Pemerhati Kebijakan Publik).