Bayaran Untuk Demokrasi

More articles

spot_img

 

Pada zaman Dahulu kala kekuasaan adalah segalanya. Raja menjadi wakil tuhan bagi kaumnya, kebenaran di tentukan oleh akal pikiran dan titah sang raja. Namun era itu telah usai. Manusia menemukan jalan damai untuk mengatur kekuasaan dan siklusnya. Demokrasi hadir bagaikan cahaya dalam gulita, mendegradasi sistem tua yang dingin tanpa suara. Benar demokrasi itu soal suara. Dengan begitu filsuf yunani menyebut bahwa : VOX POPULI VOX DEI, suara rakyat adalah suara tuhan.

Toh, Untuk melihat proses demokrasi kita sekarang mari kita amati kisah dongeng Aesop kuda, rusa dan pemburu melalui buku yang di tulis oleh dua profesor universitas Harvad, yakni steven levitsky dan Daniel ziblatt dengan judul buku; HOW DEMOCRACIES DIE atau bagaimana demokrasi mati.

Dalam dongeng yang di kisahkan pertengkaran terjadi antara kuda dan rusa,  jadi kuda mendatangi pemburu untuk meminta bantuan untuk membalas dendam kepada rusa, pemburu itu setuju dengan berkata: ‘’kalau kamu mau mengalahkan rusa, kamu harus mengizinkan aku menempatkan sepotong besi ini di mulut mu, agar aku bisa membimbing mu dengan kekang. Kamu juga harus mengizinkan aku menaruh pelana di punggung mu agar aku bisa duduk disana selagi kita mengejar musuh,’’ kuda setuju dengan permintaan itu  dan pemburu kemudian memasang kekang serta pelana. Lalu, dengan bantuan pemburu kuda mengalahkan rusa dan berkata kepada pemburu :’’ sekrang turunlah, dan lepaskan benda-benda itu dari mulut dan punggung ku.” Jangan buru- buru kawan, “ kata pemburu.” Aku sekarang sudah mengendalikan dan suka mempertahankan seperti sekarang.

Baca Juga :  Eksploitasi dan Perdagangan Manusia

Berangkat dari cerita dongeng diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa sampai saat ini demokrasi kita  belum dapat berjalan dengan semaksimal mungkin karena ada segelintir orang yang berprilaku seperti seorang pemburu. Bahwasanya masih ada orang yang berpresepsi seperti oligarki, sehingga momen demokrasi sangat berbahaya bagi negara kita saat ini.

Menurut hasil penelitian dari Dr. widianto seorang direktur media dan demokrasi di LP3S yang menyebutkan bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran berdasarkan konsolidasi dari pihak papan atas. Dalam hal ini pengusaha dan yang punya kekuasaan mereka berkolaborasi sehingga dalam situasi ini kekuatan pihak sipil tergesa-gesa dan tidak mampu bersaing, sehingga posisi pihak sipil sama seperti kuda pada cerita dongeng di atas, jadi demokrasi kita saat ini bukan lagi soal orang yang punya kompetensi dan elektabilitas yang mampu. Tetapi lebih mendominasi ialah mereka yang punya banyak modal yang akan memenangkan kompetisi, jadi kita tidak bisa pungkiri misalnya yang menang adalah mereka yang banyak uang, tapi tidak dengan kemampuan dan punya kemampuan akan di kalahkan apabila  tidak punya uang.

Baca Juga :  Tugas Negara

Dalam berdemokrasi itu didorong oleh partisipasi dan sumbangsih dari masyarakat. Akan tetapi dalam situasi sekarang bukan lagi negara yang mengurusi rakyat tetapi rakyat yang akan  mengurusi negara. Toh hal ini,  dalam kajian sosial dinamakan dengan logika felesis. Demokrasi itu syarat oligarki, tidak ada demokrasi tanpa oligarki namun yang jadi permasalahanya adalah bagaimana agar oligarki itu menjadi mitra,  bukan sabagai alat pengebu kekuasaan.  Jadi  Sepuluh sampai dua puluh tahun yang akan datang demokrasi kita akan mengalami kesesatan yang sangat fatal di berbagai macam aspek, apabila situasi sekarang terus berlanjut.!! Karena kita tidak akan ketahui dari mana rekam jejaknya.

Kita memang cemas. Cemas akan nasib kita dalam arus peradaban yang setiap kali mengalami benturan-benturan sensasional namun minim akan substansial. Pemilu adalah puncak dari kecemasan kita. Sebagai pribadi, kelompok, bahkan sebagai sebuah bangsa yang kaya dengan kemajemukanya. Kita lahir dari keberagaman, kata mereka itulah keunikan kita. Kita akan tertatih dalam mengelola peradaban, dinamika dan konflik, walaupun kadang tertatih di ujung jalan. Yang selalu menang dalam momen politik adalah mereka yang memiliki segalanya. Kecerdasan bukan satu-satunya parameter untuk menguasai pertarungan. Melainkan cerdik, licik, dan picik adalah jalannya

Baca Juga :  Hari Obesitas Internasional, Mari Perangi Obesitas

Namun pada saat ini harapan adalah substansi kita bersama, dengan sadar tanpa paksaan menumpahkan keluh-kesah kita pada mereka yang nantinya  duduk berkuasa di puncak kepemimpinan sebuah institusi yang suci dan mulia, agar mampu mengarahkan bangsa menuju jalan PERUBAHAN.

Pada posisi yang berbeda parlemen yang di isi dengan mereka yang sibuk berdebat antara kepentingan dan janji mereka kepada kita sebagai rakyat. Dalam istilah prancis di sebut sebagai PARLE yaitu menuju pada tempat terhormat di dalamnya berisi wakil rakyat yang di pilih untuk membicarakan nasib rakyatnya. Semuanya adalah jalan kita, jalan kebaikan tanpa bermusuhan, jalan untuk mencapai kesetaraan tanpa merendahkan, jalan persaudaraan,tanpa saling menjatuhkan, jalan kesejahteraan tanpa saling menghinakan dan jalan kemakmuran untuk kita semua.

Oleh: Badruddin muda

 

spot_img
spot_img

Latest

spot_img