Penulis: Rusdianto Samawa,
Front Nelayan Indonesia (FNI)
Sidang Majelis Umum PBB mengesahkan secara konsensus resolusi tentang kerja sama antar negara dalam melindungi pelaut (seafarers) pada 1 Desember 2020 lalu. Resolusi yang digagas Indonesia tersebut, mendapat dukungan co-sponsor dari lebih 70 negara dan merupakan resolusi Majelis Umum PBB pertama terkait pelaut dan pengelolaan arus barang secara global (global supply chain). Hal itu merupakan terobosan penting dalam mendorong perhatian dunia terhadap isu-isu keselamatan pelaut, ABK dan alur supply barang di lingkup maritim, khususnya menyangkut perlindungan pelaut.
Para pelaut di seluruh dunia disebut menghadapi tantangan berat di masa pandemi, di mana restriksi yang ada membuat pergantian awak dan pemulangan pelaut menjadi sulit. Kapal – kapal yang pekerjakan Anak Buah Kapal (ABK), baik domestik dalam negeri maupun luar negeri (Kapal Ikan Asing) sangat sering terjadi kasus eksploitasi terhadap pekerjanya ABK. Memang sangat sering terjadi eksploitasi Anak Buah Kapal: human trafficking, perbudakan dan pelecehan seksual. Negara pun jarang hadir saat terjadi masalah – masalah tersebut. Lebih jauh, belum ada mitigasi (antisipasi) yang baik terhadap perlakuan tidak layak terhadap ABK.
Resolusi Pelaut Indonesia
Regulasi negara untuk melindungi profesi ABK yang rentan eksploitasi. Bahkan, hal ini dianggap seperti biasa Padahal di berbagai negara, kejahatan terhadap ABK selalu terjadi. Parahnya lagi, Indonesia termasuk negara yang parah kondisi ABK-nya. Padahal, perikanan salah satu sektor penting. Output yang dihasilkan sektor perikanan cukup besar untuk memenuhi gizi dan protein, khususnya penduduk Indonesia dan masyarakat dunia pada umumnya.
Harapan pemerintah terhadap upaya resolusi MU PBB tersebut, diharapkan menjadi pendorong kerja sama internasional dalam memfasilitasi pergantian awak kapal, yang merupakan faktor penting dalam pengelolaan arus barang secara global. Adopsi resolusi tersebut secara konsensus tidak terlepas dari dukungan dan kerja sama negara anggota PBB serta organisasi internasional seperti IMO, ILO dan UNCTAD.
Pada 2016, International Organization for Migration (IMO) bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Conventry University mengeluarkan laporan berjudul Report on Human Trafficking, Forced Labour and Fisheries Crime in the Indonesian Fishing Industry. Namun, hasil kerjasama ini tidak kelihatan data faktualnya tentang orientasi, sebab akibat, dan jumlah pasti keberadaan perusahaan perikanan.
Data KKP hingga sekarang, masih memakai data tahun 2011 jumlah tenaga kerja perikanan dan ABK yang bergerak di sektor perikanan tangkap, budidaya, dan pengolah hasil pemasaran sebanyak 11.972.520 orang. Namun jumlah itu, masih belum memadai. Kelemahan data tersebut, Karena kualitas dan kuantitas SDM di sektor kelautan dan perikanan masih lemah.
Saat ini pun, antara jumlah armada kapal ikan nasional dan luar negeri tidak terdata dengan baik berapa sebenarnya jumlah ABK dan pekerja industri perikanan. Sehingga ketika terjadi masalah human trafficking (perdagangan manusia), perbudakan dan pelecehan seksual dalam sektor perikanan, pemerintah sering abai. Karena data faktual tidak dimiliki.
Salah satu inti resolusi dari aturan dan protokol IMO tentang Pergantian Awak Kapal pada pelayaran internasional, yang mendorong negara anggota untuk membuka akses pergantian awak kapal dan repatriasi pelaut. Karena itu, bentuk bukti nyata komitmen komunitas internasional dalam mengatur arus barang global dan keselamatan pelaut. Sebagai salah satu negara penyumbang pelaut terbesar di dunia adalah Indonesia.
Kompas (2020) merilis hasil kajian International Organization for Migration (IMO) dan Conventry University yang mengeluarkan laporan berjudul Report on Human Trafficking, Forced Labour and Fisheries Crime in the Indonesian Fishing Industry, terbagi menjadi dua konteks yakni; pertama, mencakup perdagangan manusia (nelayan, ABK dan pekerja migran) untuk keperluan eksploitasi tenaga kerja di laut dan operasi darat.
Aktivitas yang berbasis di laut termasuk penangkapan ikan di kapal, pembudidayaan ikan di instalasi tengah laut, serta mengambil sumber daya laut dari perahu atau kapal. Sementara itu, aktivitas yang berbasis di darat antara lain bengkel kapal, bekerja di pelabuhan (reparasi jaring ikan, memilih ikan atau hewan laut), serta pembudidayaan hewan laut di daratan. Kedua, mencakup perdagangan manusia, khususnya wanita dan anak-anak, untuk kepentingan eksploitasi seksual bagi nelayan atau pelaut.
Data KKP yang bersumber dari survei BPS tahun 2018 – 2019 bahwa Indonesia terdapat 12 juta pekerja yang harus dipenuhi haknya sesuai UUD 1945 Pasal 27 ayat 2, Pasal 28D ayat 2, dan Pasal 28E ayat 1. Jumlah ini, ada peningkatan dibanding tahun 2011 lalu. Tetapi, perlu diketahui dalam konstitusi; UUD 1945 dan Pancasila, bahwa tiap-tiap warga negara (ABK dan Pekerja Industri) berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, memilih pekerjaan, dan terbebas dari ancaman eksploitasi; human trafficking, perbudakan dan pelecehan seksual yang menjadi hak asasinya.
Para ABK dan pekerja industri perikanan hingga saat ini masih berada di bawah sistem kerja outsourcing, beban dan jam kerja yang panjang capai 10 jam per hari tanpa upaya yang layak, tidak dilindungi asuransi, intimidasi, dan pemecatan sepihak. Dari hasil riset Front Nelayan Indonesia (FNI) 2021 dalam masa pandemi covid, pekerja perikanan mendapatkan upah rata – rata mulai dari Rp30.000 – Rp150.000 per hari untuk kapal domestik dan rerata Rp200.000 – Rp250.000 per hari untuk kapal ikan asing (KIA). Jika dibandingkan dengan beban dan resiko kerja yang mereka alami, upah tersebut tergolong sangat rendah dan pelanggaran hak asasi pekerja.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) merilis data tahun 2021 mencatat, bahwa pada 2018 kasus ABK Indonesia di kapal perikanan berbendera asing jumlahnya 1.079 kasus. Pada 2019 capai 1.095 dan tahun 2020 total kasus ada 1.451 laporan kasus. Jumlah kasus tersebut meningkat dalam dua tahun terakhir. Rincian dari 1.451 kasus ABK, 1.211 kasus di antaranya repatriasi, masalah gaji (465 kasus), kekerasan (156 kasus), kematian (70 kasus), TIP (26 kasus), dan lainnya (104 kasus).
Penamaan Kepulauan Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan total luas 8,3 juta km persegi, 17.504 pulau, dan 108.000km panjang garis pantai. Dengan kondisi geografis yang luas tersebut tentunya juga menghadirkan banyak potensi sumber daya yang bisa digali dan perlu untuk dijaga kedaulatannya.
Beberapa waktu lalu, sejak tahun 2017, Delegasi Republik Indonesia (Delri) telah berusaha maksimal mendaftarkan 2.590 nama pulau ke UNGEGN (United Nations Group of Experts on Geographical Names) dalam pertemuan ke-30 UNGEGN dan konferensi ke-11 tahun UNCSGN (United Nations Conference on Standardization of Geographical Names) di Markas Besar PBB, New York pada tanggal 7-18 Agustus 2017. Dengan demikian, secara resmi negara berhak memetakkan pulau yang berisi informasi (nama, koordinat dan lokasi) atas berbagai pulau yang telah dibakukan namanya di PBB hingga Juli 2017, yaitu sebanyak 16.056 pulau.
Jumlah Pulau di Indonesia (termasuk pulau besar dan pulau kecil) yang tertera pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia adalah 17.508 Pulau, namun adanya masalah effective occupation pada 4 Pulau yaitu Pulau Sipadan, Pulau Ligitan, Pulau Yako dan Pulau Kambing menyebabkan lepasnya kedaulatan terhadap Pulau tersebut. Untuk menghindari hal tersebut terulang kembali maka Pemerintah Republik Indonesia melakukan banyak tindakan dan kegiatan di wilayah perbatasan khususnya di Pulau-pulau Kecil dan Pulau-pulau Kecil Terluar.
Masih ada 1.448 pulau yang memerlukan proses validasi dan verifikasi dimasa mendatang. Dengan perubahan cuaca dan berbagai anomali alam, telah terjadi munculnya sejumlah pulau dan hilangnya pulau karena abrasi dan reklamasi. Karena itu, verifikasi pulau dan penamaan pulau terus dilakukan guna mendapat kepastian geografi Indonesia yang terdapat dalam peta dunia. Indonesia mempunyai 111 Pulau-Pulau Kecil Terluar yang telah ditetapkan dalam Kepres 6/2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar
Pada tahun 2019 lalu, pemerintah mengajukan dua area ke PBB, yaitu segmen di utara Papua pada tahun 2019 dan segmen barat daya Sumatera pada tanggal 28 Desember 2020. Sampai saat ini, total area yurisdiksi landas kontinen yang telah diklaim Indonesia kepada PBB adalah seluas 407.966,6 km2. Indonesia kedepankan kepentingan nasional melalui diplomasi maritim di tingkat multilateral dalam pertahankan dan penambahan wilayah dasar laut Indonesia.
Dokumen tersebut meliputi aspek geografis, uji geologi, data, dan metode serta hasil survey di wilayah terkait. Selanjutnya, Badan PBB untuk Batas Landas Kontinen Commission on the Limits of Continental Shelf (CLCS) belum mengambil keputusan berdasarkan data dan argumen yang di sampaikan Pemerintah. Apabila disetujui, maka menambah wilayah dasar laut Indonesia seluas 211,397.7 km2 atau seluas lebih dari 1.5 kali Pulau Jawa dan memberikan keuntungan yang signifikan bagi Indonesia di bidang ekonomi, penelitian, perhubungan, dan bidang-bidang terkait lainnya.
Sangat penting, bagi Indonesia sebagai negara maritim yang mendaftarkan seluruh kenamaan pulau di PBB bagi negara anggota. Tujuannya, menjaga standar penamaan pulau agar satu pulau tidak memiliki nama yang berbeda-beda sehingga memudahkan warga negara mengenal pulau diseluruh Indonesia. Namun masalahnya, penamaan pulau tidak serta merta diakui PBB karena pendaftaran nama pulau bukan berarti pengakuan kedaulatan PBB terhadap suatu pulau.
Posisi PBB, khususnya UNGEGN sudah jelas, yaitu hanya menetapkan standarisasi penamaan dan tidak memberikan suatu pengakuan kedaulatan atau pengakuan apa pun tentang status hukum suatu pulau tentang jenis, unsur, posisi, lokasi dan nama pulau. Hal ini, pertegas otoritas penamaan pulau secara baku sehingga geografis nasional.
Pengajuan perluasan landas kontinen ini merupakan yang ketiga kalinya dilakukan oleh Indonesia. Sebelumnya pada tahun 2008 untuk wilayah sebelah barat Pulau Sumatera, dan tahun 2019 untuk wilayah sebelah utara Papua. CLCS telah menyetujui pengajuan Indonesia di sebelah barat Pulau Sumatera pada tahun 2011, sehingga Indonesia mendapatkan tambahan area landas kontinen seluas kurang lebih 4,209 km2.
Hal ini, bertujuan untuk wujudkan kedaulatan negara sebagai poros maritim dunia sehingga dapat menopang pilar – pilar kedaulatan, yakni; memastikan integritas wilayah dan memperluas wilayah yurisdiksi; menjaga pertahanan dan keamanan; memastikan keselamatan; mengelola sumber daya terlaksana dengan bertanggung jawab; serta memproyeksikan kepentingan nasional melalui leadership di dunia internasional sehingga perlu perkuat kemampuan data. Indonesia harus mampu menjadi rujukan solusi atas berbagai permasalahan kemaritiman global.
Ekonomi Biru Indonesia
Pasca diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Indian Ocean Rim Association (IORA) di Jakarta tahun 2020, pemerintah Indonesia berupaya menindaklanjuti dengan langkah yang lebih nyata dari KTT IORA dengan menyelenggarakan pertemuan tingkat menteri ke-2 negara-negara anggota IORA tentang konsep ekonomi biru (blue economy) dan perlindungan pelaut. Hal itu dilaksanakan, saat perundingan pembentukan norma internasional terkait keanekaragaman hayati diluar area 200 mil laut di Markas Besar PBB New York beberapa tahun lalu, tepatnya dimulai pada tanggal 28-29 Maret 2017 hingga sekarang ini.
Bagi Indonesia, komitmen menggalang dukungan global dalam manfaatkan potensi kelautan dengan pendekatan keberlanjutan sebagai inti dari konsep ekonomi biru. Sesuai hasil konferensi PBB untuk Pengembangan Berkelanjutan (United Nations Conference on Sustainable Development) di Rio de Janerio pada Juni 2012 lalu, bahwa banyak negara kepulauan dan negara pulau yang gantungkan hidup pada sumberdaya laut dan perikanan.
Saat ini, Indonesia mengalami permasalahan sama, yaitu kenaikan air laut karena pemanasan global, peningkatan kadar asam air laut dan sampah plastik laut. Masalah tersebut, pekerjaan paling lama dan tidak akan menemukan solusi dalam jangka pendek. Sudah pasti sangat lama. Maka, harus ditangani. Karena, ratusan juta penduduk bergantung pada laut untuk mata pencaharian dan ketahanan pangan. Karena itu pendekatan pemanfaatan yang berkelanjutan sangat dibutuhkan karena laut yang sehat memiliki potensi ekonomi sebesar US$ 24 triliun.
Selain menggalang dukungan untuk pengembangan ekonomi biru. Indonesia dituntut memiliki tindakan konkrit untuk mengatasi persoalan kerusakan laut sehingga bisa menuntaskan isu-isu kelautan global. Pengelolaan sumber daya hayati (ikan dan sumber daya genetik lainnya) di laut bebas (high seas) sangat penting. Apalagi, sumber daya migas dan mineral di kawasan dasar laut internasional yang berada di bawah mandat otoritas dasar laut Internasional. Laut bebas ini melingkupi 74% dari luas perairan bumi dan lebih dari 90% masih belum terjelajahi.
Pemerintah harus memiliki peran aktif dalam menyusun instrumen keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasional dan penyusunan regulasi nasional terkait partisipasi aktif Indonesia di kawasan dasar laut internasional. Indonesia harus menjadi contoh pengelolaan maritim diskala regional dan global. Tentu, agenda utamanya membangun kolaborasi; adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, pembangunan ekonomi biru, penanggulangan sampah plastik di laut, serta tata kelola laut yang baik.
Laut merupakan salah satu bagian bumi yang terdampak paling besar dalam perubahan iklim, namun isu ini tidak banyak disinggung bahkan dalam Perjanjian Paris hanya memuat satu kata tentang laut yaitu “oceans” di bagian preambule saja. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan negara-negara anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk perubahan iklim (UNFCCC). Namun, tidak memiliki cakupan masalah laut dalam batang tubuhnya. Kekurangan ini telah menjadi keprihatinan negara-negara kepulauan dan negara pulau kecil dari sisi hukum internasional.
Indonesia telah memiliki dokumen NDC (Nationally Determined Contribution) tentang kelautan. Namun, upaya Indonesia tidak akan cukup apabila tidak ada upaya regional dan global karena pada dasarnya, samudera dan laut di planet bumi satu kesatuan. Dengan kondisi tersebut, Indonesia perlu mitigasi masalah kelautan menjadi bagian utama instrumen hukum internasional dibidang perubahan iklim.
Rujukan Nasional Data Kewilayahan Republik Indonesia yaitu; Luas perairan pedalaman dan perairan kepulauan Indonesia adalah 3.110.000 km2;
Luas laut teritorial Indonesia adalah 290.000 km2; Luas zona tambahan Indonesia adalah 270.000 km2; Luas zona ekonomi eksklusif Indonesia adalah 3.000.000 km2; Luas landas kontinen Indonesia adalah 2.800.000 km2; Luas total perairan Indonesia adalah 6.400.000 km2; Luas NKRI (darat + perairan) adalah 8.300.000 km2; Panjang garis pantai Indonesia adalah 108.000 km; Jumlah pulau di Indonesia kurang lebih 17.504, dan yang sudah dibakukan dan disubmisi ke PBB adalah sejumlah 16.056 pulau.
Masih banyak yang belum menyadari pentingnya peta kelautan Indonesia. Karena selama ini, Indonesia belum memiliki data yang lengkap mengenai pemetaan laut sehingga muda diklaim negara lain karena tidak memiliki data peta laut. Padahal data akurat merupakan super power bagi Indonesia untuk kedaulatan negara. Maka, perlu dilakukan pemetaan yang detail seputar pulau dan perkuat aparat penegak hukum di laut.
Natuna: Traffic Separation Scheme (TSS) Navigasi Indonesia
Kampanye perang di wilayah Natuna, membuat China kekeh kekal sikapnya mengklaim wilayah yurisdiksi Indonesia di Natuna Selatan dan Utara. Kini, beberapa kelompok negara adidaya seperti Amerika Serikat agresif merespon upaya gertakan perang Pacifik. Bahkan, di iringi tindakan patroli dan pengiriman armada perang disekitar Natuna Utara dan Selatan.
Pertanyaannya, Indonesia berada dimana? apakah akan menjadi panitia perang Pasifik? atau memilih diplomasi keduanya: Amerika Serikat cs versus China cs. Maka, perlu dilakukan Indonesia sekarang, penguatan pengawasan keamanan maritim terpadu di Natuna Utara dan Selatan. Karena, Natuna merupakan Navigasi Indonesia. Hal ini, salah satu upaya penting Indonesia dalam rangka meningkatkan keselamatan arus ekonomi dan navigasi di perairan Indonesia sendiri. Tentu, lebih jauh, pada 1 Juli 2020, Indonesia telah menetapkan Skema Pemisahan Lalu Lintas Kapal (Traffic Separation Scheme – TSS) di jalur pelayaran Internasional di perairan Indonesia, khususnya di selat Sunda dan Selat Lombok.
Penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) dilakukan untuk menjaga keselamatan navigasi kapal yang melalui selat‐selat penting Indonesia dan kepentingan pengawasan maritim kapal asing yang melalui Indonesia. Dengan menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS), setiap kapal yang melewatinya wajib melaporkan diri sehingga pemerintah bisa mengetahui dan memantau kapal‐kapal yang melalui daerah strategis tersebut, baik kapal niaga hingga kapal militer.
Selain menjaga keselamatan navigasi di perairan Indonesia. Tentunya melindungi hak dan keselamatan para pelaut, baik yang bekerja di kapal berbendera Indonesia, maupun yang di kapal asing. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk memastikan keselamatan para pelaut dan awak kapal Indonesia. Salah satu di antaranya adalah pembukaan jalur publik untuk melaporkan kasus‐kasus yang terjadi.
Pertemuan Tingkat Pejabat Tinggi dan Tingkat Menteri pada tahun 2018-2020 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama dari AIS Forum akhir 2021 lalu, pertegas komitmen bersama negara-negara anggota PBB untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh negara pulau dan kepulauan.
Dinamika Natuna Utara dan Selatan sangat dinamis. Majelis Umum PBB meminta China kedepankan perdamaian, tidak asal mengklaim kedaulatan negara lain. Apalagi, Filipina sudah peringatkan China agar tidak klaimnya sembarangan atas kedaulatannya. Begitu pun Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Thailand menunjukkan sikap menekan keras atas wilayah yang disengketakan oleh China yang mengakui wilayah sebagai Laut Cina Selatan.
Filipina, Jepang, Taiwan, Thailand dan Korea Selatan mengajukan mosi ke DK PBB untuk menambah senjata dan ajukan klaimnya atas wilayahnya masing-masing diseputar kepulauan yang diklaim China. Terutama, Filipina sudah ajukan sengketa untuk Kepulauan Spratly ke pengadilan PBB. Sementara, Tiongkok klaim kedaulatan atas Spratly dan perairan sekitarnya. Tapi Filipina dan Vietnam, serta beberapa negara lain, turut mengklaim wilayah yang berpotensi kaya mineral tersebut. Konfrontasi yang melibatkan kapal-kapal patroli Tiongkok telah memicu kekhawatiran internasional.
Sementara, posisi Indonesia masih sibuk merebut kembali menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) setelah Presiden Majelis Umum PBB Miroslav Lajcak mengumumkan hasil pemungutan suara yang berlangsung secara rahasia. Indonesia meraih 144 dukungan dari 190 negara yang memberikan suara di sidang plenary di New York tersebut, mengungguli Maladewa yang mendapatkan 46 dukungan.
Kali keempat Indonesia menduduki kursi anggota tidak tetap DK PBB sebagai representasi dari grup Asia Pasifik. Sebelumnya, Indonesia pernah mencapai hal yang sama pada tahun 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008. Capaian Indonesia, merupakan bentuk diplomasi untuk jembatan perdamaian dunia. Indonesia masih bangga, menduduki satu dari sepuluh kursi anggota tidak tetap DK PBB.
Namun, persoalan nasional dalam negeri Indonesia tak kunjung membaik; kemiskinan bertambah, nasionalisme memudar, ekonomi mundur, alutsista angkatan perang minus, sumberdaya alam kian terketuk, hutang bertambah ribuan triliun, konflik vertikal horisontal antar generasi kian mencuat dan Natuna kian memanas persiapkan diri masing – masing negara menghadapi perang.
Lalu, Indonesia dapat apa masuk DK PBB. Hanya dapat kursi. Sementara, perlawanan terhadap negara – negara adidaya seperti China yang mengklaim sebagian wilayah laut Indonesia, tak mampu konfrontasi. Ya, indikator berdaulatnya Indonesia, bukan berada pada kursi PBB yang di dapatkan. Bukan suatu kebanggaan. Karena Indonesia tetap di jajah oleh negara lain, melalui skema investasi ekonomi: startup, infrastruktur, konflik atas nama narasi agama dan lainnya.
Mestinya, jawaban Indonesia kepada dunia yakni menunjukkan kedaulatan dan peran keras pada dunia internasional bahwa Indonesia negara merdeka, tak ada tempat bagi negara lain yang ingin menganggu atau mencaplok kedaulatan Indonesia. Walaupun, dalam politik bebas aktif untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Tetapi, konteks kedaulatan, Indonesia harus bersikap keras terhadap asing yang ingin menguasai wilayah Indonesia.[]