Prolog
Dalam tata Hukum Negara Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber tertib hukum yang dijadikan sebagai rujukan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Berbagai hal pokok diatur dalam undang-undang dasar, Pancasila sebagai dasar Negara, acuan dan landasan dalam mengatasi segala problematika kehidupan kenegaraan disinilah posisi pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia.
Secara substansial Pancasila dan Undang-Undang Dasar harus bersinergi sebagai jati diri bangsa dan pembentukan karakter masyarakat Indonesia. Pembenahan moral, pembinaan mental, pendalaman spiritual adalah salah satu tindakan untuk menciptakan tatanan hidup bermasyarakat yang nyaman dan beradab sebab itu adalah salah satu solusi menangani persoalan masyarakat. Semakin banyak masyarakat mendapatkan manfaat atas hal baru semakin masyarakat itu sendiri pula harus menyadari fitrahnya sebagai mahluk yang saling berhubungan satu dengan lainnya atau dikenal dengan istilah mahluk sosial yang harus saling menghormati hak dan kewajibannya satu dan lainnya.
Indonesia adalah negara dengan bentuk sistem kesatuan yang berarti Negara Kesatuan itu adalah Negara yang tidak tersusun dari beberapa Negara. Melainkan hanya terdiri dari atas satu negara. Dengan demikian dalam Negara Kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu Pemerintah Pusat yang mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan Negara yang secara demokratis menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan Negara baik di Pusat maupun di daerah-daerah. Pelaksanaan demokrasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu demokrasi langsung dan perwakilan juga secara hierarkhi negara terdapat demokrasi tingkat nasional serta lokal.
Indonesia berada pada masa euforia politik di satu sisi dan ketidak percayaan rakyat pada elit politik menjadikan proses rekruitmen mengarah pada demokrasi langsung, termasuk pemilihan kepala daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsungm erupakan fenomena kenegaraan baru di Indonesia. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan konsep demokrasi dan pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun dalam pelaksanaannya terkadang kita dihadapkan pada perilaku politik yang tidak tepat dalam masyarakat, baik oleh elit tokoh politik maupun masyarakat yang menjadi sasaran dukungan. Sikap fanatik terhadap suatu paham ideologi kadang dapat memicu konflik kepentingan dalam masyarakat, membuat mereka cukup mudah untuk digiring pada isu-isu tertentu yang rentan memecah belah masyarakat. Salah satu contoh yang signifikan adalah penggunaan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) sebagai alat untuk mendapatkan simpati pendukung dalam mendulang suara.
Tentang SARA
SARA adalah kepanjangan dari Suku Ras Agama dan Antargolongan, secara pengertian sara adalah pandangan dan tindakan yang dilakukan berdasarkan identitas yang meliputi suku, ras, agama dan antargolongan. SARA juga berkaitan dengan pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut keturunan, agama, kebangsaan atau kesukuan dan golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan.
Isu sara ini menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan didalam setiap pilkada di Indonesia. Dari sisi budaya, keberagaman ritual adat budaya, dan agama yang dijalani dan dihidupkan oleh ratusan etnis yang ada di Indonesia. Para politisi dan kandidat biasanya menggunakan berbagai pola pendekatan terhadap etnisitas menjelang pemilihan baik ketika pilkada berlangsung maupun setelah pilkada berlangsung agar mereka dapat suara yang memenangkan partai mereka. Padahal Isu SARA yang merupakan bagian dari black campaign yang menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan demokrasi disetiap daerah.
Nugroho dalam bukunya Dekonstruksi wacana Sara dan Implikasinya terhadap kemajemukan masyarakat, menambahkan bahwa pengertian lain dari SARA dapat disebut diskriminasi yang merujuk kepada sikap yang tidak adil terhadap individu tertentu. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama.
Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan. lronisnya, sistem nilai yang kita yakini sebagai ideologi resmi negara justru mengakui adanya pluralitas. Bahkan pluralitas itu dianggap sebagai pendorong terwujudnya masyarakat Indonesia yang majemuk di bawah slogan โBhineka Tunggal lkaโ, dalam konteks Kesulaan dikenal dengan “Dad Hia Ted Sua” Terjadilah diskrepansi antara sistem nilai atau ideologi (dunia kesadaran) dengan praktek politik keseharian (dunia riil).
Isu sara menjadi instrumen yang memiliki efek luar biasa dalam demokrasi, saya melihatnya begitu karena memang ada keyakinan bahwa isu sara memilik efek yang memadai untuk mendulang elektabilitas seseorang atau untuk menahan bahkan menghancurkan elektabilitas seseorang Calon Kepala Daerah tertentu.
Isu SARA di PILKADA Kepulauan Sula
Di Kabupaten Kepulauan Sula, SARA merupakan isu yang sensitif untuk diperbincangkan. Keberagaman identitas dalam masyarakat Sula seperti etnis, suku, ras dan agama dari segi budaya relatif mudah untuk dipahami dan diterima, namun lain halnya jika isu tersebut diseret ke dalam dunia politik. Isu etnis selain mengerdilkan peran substansialnya juga sangat tidak kondusif bagi pelakasanaan Pilkada Sula secara fair dan demokratis. Isu tersebut menelanjangi dengan jelas bahwa dukungan terhadap pasangan calon bukan lagi didasarkan atas faktor visi-misi, kualitas, kapabilatas, integritas, obyektivitas maupun sejenisnya.
Sikap saling mencurigai dan apriori yang berdimensi sektarian, primordial, subyektif dan bertolak belakang dengan prinsip demokrasi dan nilai-nilai yang mengedepankan kesetaraan dan penghormatan atas pluralitas-kebhinnekaan.
Seperti penjelasan diatas, isu sara dalam Pilkada di Kabupaten Kepulauan Sula, tampaknya lebih banyak digunakan oleh Paslon dan tim sukses tertentu disetiap momentum kampanye untuk menyerang dan menekan elektabilitas calon dengan dalil agama, suku ras dan lainnya tertentu. Perlakuan itu justeru terlihat pada mereka yang seharusnya menjadi negarawan sejati, dimana mampu menempatkan urusan negara sesuai porsinya, hadir sebagai penyatuan semua golongan. Justeru dengan penuh kebanggaan berdiri didepan jutaan mata masyarakat lalu menyerang privasi hingga pada aspek keagamaan dengan kata-kata hinaan yang jorok, terlihat masing-masing tanpa rasa malu sedikit pun jikalau sikap itu dipublish pada media sosial, pada saat yang bersamaan ‘Potensi’ itu bisa dimanfaatkan oleh calon-calon yang lain.
Sebagaimana prakteknya Isu sara pada pilkada kepulauan Sula bersifat lebih menyerang pada orang, bahwa dia kelompok tertentu , etnis tertentu atau agama tertentu dan bukan dalam kerangka menegakkan identitas kelompok tertentu. Lebih banyak menyerang, bersifat menekan atau menurunkan elektabilitas Paslon daripada menaikkan elektabilitas.
Padahal baiknya saat kampanye itu merupakan momentum untuk melakukan pendidikan politik, momentum untuk mencerdaskan rakyat dalam menilai dan menentukan pilihan berdasarkan hati nurani.
Kampanye pilkada di kepulauan Sula seharusnya menjadi wahana silaturahmi, adu program berbasis data seยญbagai pertimbangan masyaraยญkat untuk menentukan pilihan, sehingga energi masyarakat sula dapat terserap ke daยญlam atmosfer kampanye yang dapat memberikan pendidikan politik.
Penggunaan isu suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam pilkada sula saat ini termasuk sebuah kemunduran kita dalam berdemokrasi. Sementara pelaku penyebar Isu SARA adalah musuh bersama yang harus diberantas dalam kehidupan berdemokrasi di kepulauan sula. Pasalnya, sara bisa menjadi bom waktu yang bisa meluluhlantakkan persatuan dan kesatuan masyarakat Kepulauan Sula yang berpegang pada semboyan Dad Hia Ted Sua. Maka mari cegah isu Sara agar tidak boleh terjadi lagi, baik melalui dunia maya “media sosial”, atau pun pada saat kampanye langsung.
Sederhananya Thahir dalam Risetnya tentang Implementasi Pilkada Langsung, menyebutkan politisasi identitas budaya, sentimen agama, dan sumber daya ekonomi untuk kepentingan kelompok atau individu yang menjadikan agama dan budaya sebagai legitimasi untuk merebut pengaruh dari rakyat adalah pengkerdilan demokrasi.
Apa dampak Jangka Panjangnya Isu SARA
Menurut survei yang dilakukan Lingkar Madani Indonesia atau LIMA, efek politik uang diperkirakan hanya sekitar 30%, yang berarti dari 100 orang yang mendapat uang maka mungkin sekitar 30 saja yang memilih sesuai dengan permintaan pemberi uang.
Sementara politik SARA bisa berdampak melintasi batas-batas daerah tertentu, contohnya terlihat saat Pilkada DKI Jakarta ketika orang-orang di luar Jakarta pun juga sampai ikut ‘terlibat’. “Yang kedua soal waktu. Pilkada DKI Jakarta yang begitu marak penggunaan isu SARA, sampai sekarang terbelah.
Jadi bukan hanya berbeda pilihan tapi terbelah karena isu SARA. Baik yang menang maupun yang kalah masih memiki dampak psikologis akibat isu SARA yang diperlakukan sangat kuat. Jadi kalau dilihat dari dampaknya, ternyata politik SARA dampaknya jauh lebih dahsyat dari praktek politik uang. Politik uang terlokalisir hanya di daerah tempat pilkada berlangsung sebut saja di kabupaten Kepulauan Sula dan relatif berjangka pendek karena orang datang ke TPS, memilih berdasarkan pesanan berapa rupiah yang diperoleh, tapi sentimen sara bisa melebar ke daerah lain karena ketersinggungan dalam kurun waktu yang cukup panjang.
Apalagi Pilkada situasinya akan berbeda. Pilkada itu rasa primordialitas lebih tinggi, rasa kepemilikan lebih tinggi terhadap daerahnya. Maka memungkinkan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab jawab untuk memenangkan pilkada dengan isu kekitaan.
Dengan memanfaatkan isu SARA dalam setiap setiap Kampanye merupakan pelanggaran demokrasi sekaligus wujud dari tindakan preventif yang nyata. Seharusnya seluruh proses politik dapat menjamin perlindungan hak segenap bangsa, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya serta menciptakan keamanan. Namun hal tersebut justeru dikotori dengan pelaku penyebar isu SARA padahal isu SARA justeru akan membuat kesenjangan dan perpecahan.
Kedudukan Hukum Bagi Pelaku SARA dalam Pilkada
Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dimasukan dalam kerangka besar untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Menurut Bambang Sunggono, setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi dasar serta alasan utama desakan masyarakat agar pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung. Pertama, masyarakat menginginkan agar Kepala Daerah lebih akuntabel kepada rakyat pemilihnya dan bukan pada fraksi dari partai politik yang memilhnya atau pejabat pemerintahan lain yang ikut menentukan hasil pemilihan itu. Kedua, rakyat menghendaki agar Kepala Daerah lebih berorientasi pada kepentingan rakyat pemilihnya. Rakyat pemilih kelak akan dapat menentukan sendiri, apakah Kepala Daerah tertentu dapat dipilih kembali untuk masa jabatan kedua. Ketiga, pemilihan langsung akan membuat basis tanggung jawab Kepala Daerah untuk berpucuk kepada para pemilih sejatinya bukan hanya kepada interest politik dari kekuatan partai politik saja.
Dalam membangun suatu keteraturan hukum yang bermuara pada perlindungan hukum atas masyarakat yang baik. Dari mana kita akan memulai melihat pembangunan keteraturan hukum terutama dalam menangani tindak pidana yang dipicu oleh Isu SARA dalam pilkada langsung. Termasuk penanggulangan kejahatan menggunakan hukum pidana terhadap perbuatan yang dipicu isu SARA. Sebagai isu yang sensitif, isu SARA seringkali dihembuskan dalam proses pemilihan kepala daerah secara langsung karena cara tersebut sangat efektif untuk menggiring massa yang berpikir dengan pertimbangan kesamaan Suku, Agama, Ras, dan Golongan dengan pasangan yang mencalonkan diri. Namun justeru dapat berdampak sangat buruk bagi pihak yang secara langsung diserang Suku, Agama, Ras, dan Golongan yang mengakibatkan tindak pidana muncul seperti penganiayaan, perusakan, penghinaan, penculikan, bahkan pembunuhan. Peristiwa seperti ini yang perlu di hindari oleh kita semua untuk tidak memperburuk suasana.
Berbagai ketentuan dalam konsep yang dapat digunakan untuk menghadapi perbuatan yang berkaitan dengan Isu SARA. Ketentuan-ketentuannya yang berasal dari KUHP yang sedang berlaku sekarang ini yang secara langsung mengatur tentang tindak pidana yang dipicu isu sara.
Seperti: Buku II Bab V Tindak Pidana Terhadap Ketertiban Umum Pasal 286 : Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia yang dapat ditentukan berdasarkan ras, kebangsaan, etnik, warna kulit, dan agama atau terhadap kelompok yang dapat ditentukan berdasarkan jenis kelamin, umur, cacat mental, atau cacat fisik yang berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak kategori IV (empat).
Pasal 280 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang larangan dalam kampanye, yaitu pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang: mempersoalkan dasar negara Pancasila, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia; melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.
Pasal 69 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah. Jika nanti ada pihak yang terbukti melanggar akan dikenai sanksi pidana pemilu dengan ancaman kurungan penjara paling sedikit tiga bulan dan paling lama 18 bulan. Selain itu, pelaku juga akan dikenakan sanksi denda paling sedikit Rp 600.000 dan paling banyak Rp 6 juta.
Epilog
Penggunaan isu SARA dalam Pemilihan Kepala Daerah Kepulauan Sula yang dilakukan untuk meraih simpati massa pemilih adalah wujud kemunduran demokrasi dan merupakan tindakan melawan hukum serta berpotensi dapat memecah belah persatuan diantara masyarakat Sula yang telah terbangun baik selama ini dengan konsep “Dad Hia Ted Sua”. Isu SARA dalam Pilkada berdampak secara langsung pada pelaksnaan demokrasi menjadi tidak sehat. Selama isu SARA masih digunakan dalam Pilkada Sula maka harmonisasi dalam demokrasi serta pemimpin yang baik pilihan masyarakat tidak akan pernah tercapai, karena justeru akan menimbulkan banyak konflik dan pemimpin kepala daerah terpilih terkesan berasal dari golongan tertentu. Politik Sara membuat masyarakat terperangkap untuk memperjuangkan calon kepala daerah dengan pertimbangan karena memiliki kesamaan bukan pada visi, misi dan program yang pro terhadap rakyat. Pelaksanaan pilkada sula yang tidak sehat melahirkan ketidak harmonisan dalam berdemokrasi, hak asasi manusia terabaikan dan pelaksanaan hukum menjadi sulit karena Isu SARA yang begitu sensitif dapat memunculkan pertikaian massa, sehingga keadilan sulit diraih. Pemerintah melalui aparat keamanan dan BAWASLU perlu mengambil tindakan tegas kepada pelaku politik Sara di masa kampanye pilkada kepulauan Sula sebagai upaya penanganan serius penggunaan isu Sara agar tidak ada oknum yang merasa benar dijalan yang sesat seperti saat ini.
Oleh: Sahrul Takim, S.Pd.I., M.Pd.I (Ketua STAI Babussalam Kepulauan Sula).