Editorial: Investigasi.news
Dugaan bahwa lima anggota DPRD Kabupaten Pulau Taliabu tidak melaksanakan reses pada masa sidang pertama 2024 kembali memunculkan pertanyaan besar. Apakah kebiasaan buruk sebagian anggota dewan di periode sebelumnya, seperti mangkir dari kewajiban penting, kini kembali terulang?
Reses, sebagai kewajiban mendasar anggota legislatif untuk menyerap aspirasi rakyat, seharusnya menjadi momen penting bagi wakil rakyat untuk menjalin interaksi langsung dengan konstituennya. Namun, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Ketua DPRD Pulau Taliabu, Muhammad Nuh Hasi, mengonfirmasi bahwa kelima anggota dewan tersebut tidak turun reses meskipun anggaran reses sudah diterima.
Empat dari lima anggota yang diduga mangkir ini merupakan wajah lama yang sudah menjabat di periode sebelumnya, yakni Amrin Yusril Angkasa, Dinan Budaya, Meilan Mus, dan Muhammad Alnajib Sarihi. Di periode sebelumnya, Anggota DPRD juga kerap dikritik atas ketidakhadiran dalam rapat pleno penting serta lemahnya pengawasan terhadap proyek pembangunan bahkan keuangan. Hal ini berujung pada banyaknya infrastruktur yang mangkrak atau tidak selesai tepat waktu.
Muhammad Nuh Hasi menegaskan bahwa kasus ini akan ditangani oleh Badan Kehormatan (BK) DPRD untuk memberikan teguran atau sanksi sesuai prosedur.
“Saya pastikan anggaran reses mereka diambil karena pembayaran dilakukan langsung, bukan manual. Namun, mereka tidak melaksanakan reses. Nantinya, mereka sendiri yang harus bertanggung jawab jika ada masalah,” ujarnya.
Kejadian ini semakin mencoreng wajah DPRD Pulau Taliabu di mata publik. Selama ini, lemahnya pengawasan internal dan budaya abai terhadap tugas telah menciptakan jurang kepercayaan antara rakyat dan wakilnya. Pola perilaku seperti ini tentu tidak hanya mengecewakan, tetapi juga merugikan masyarakat yang berharap aspirasi mereka dapat disampaikan dan diperjuangkan.
Pepatah mengatakan, “Racun setetes merusak nasi sebelanga.” Jangan sampai karena ulah atau kebiasaan buruk anggota DPRD lama, anggota DPRD yang baru dilantik pada periode ini juga dinilai buruk oleh masyarakat. Ketidakpatuhan terhadap tugas yang telah menjadi kebiasaan lama, jika dibiarkan, akan merusak reputasi lembaga legislatif secara keseluruhan.
Lebih lanjut, pertanyaan besar muncul terhadap peran partai politik yang menaungi para anggota DPRD ini. Apakah partai-partai tersebut akan membiarkan anggotanya melanggar kewajiban tanpa konsekuensi? Jika partai politik tidak mengambil tindakan tegas, mereka pun turut bertanggung jawab atas gagalnya anggota mereka menjalankan amanah rakyat.
Dengan rekam jejak yang kurang memuaskan, apakah kebiasaan lama ini akan terus dibawa hingga periode sekarang? Rakyat Taliabu menuntut perubahan nyata dari wakilnya, bukan sekadar janji kosong. Jika pola ini dibiarkan, bagaimana nasib pembangunan dan kesejahteraan masyarakat ke depan?
Rakyat kini menanti langkah tegas dan transparan, baik dari DPRD maupun partai politik, untuk memastikan bahwa amanah publik tidak lagi diabaikan. Apakah masa depan Taliabu akan berubah, atau justru semakin tenggelam dalam pola lama yang mengecewakan?