Taliabu, sebuah pulau yang mempesona dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan kebudayaan yang kaya, kini terjebak dalam perdebatan yang membingungkan seputar pembentukan struktur masyarakat adat dan hak ulayat. Perbincangan ini tidak hanya mencerminkan dinamika internal masyarakat setempat, tetapi juga menyoroti minimnya koordinasi antara Kesultanan Ternate dan kebijakan pemerintah terkait perlindungan hak asasi dan kepentingan ekonomi.
Selama berabad-abad, Taliabu telah menjadi tempat bersemi tradisi adat yang kuat. Struktur masyarakat adat dan hak ulayat telah menjadi pijakan bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Namun, dengan arus waktu dan campur tangan dari luar, muncul berbagai tantangan baru.
Perdebatan seputar pembentukan struktur masyarakat adat dan hak ulayat di Taliabu melibatkan beragam sudut pandang. Di satu sisi, ada yang berpegang teguh pada pelestarian tradisi adat sebagai bagian tak terpisahkan dari warisan budaya yang harus dijaga. Mereka melihat struktur ini sebagai pondasi penting untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, identitas lokal, dan kesejahteraan sosial.
Namun, di sisi lain, ada yang mengusulkan perlunya penyesuaian terhadap perkembangan zaman dan hukum normatif. Mereka berpendapat bahwa klaim struktur masyarakat adat dan hak ulayat yang dibentuk tanpa memperhatikan landasan hukum dapat menciptakan ketidakpastian mengenai kewenangan pengaturan wilayah administrasi pemerintahan desa sesuai UU No. 6 tahun 2014. Ini dapat menghambat pembangunan ekonomi dan perlindungan hak asasi individu, terutama di era globalisasi dan peningkatan investasi di sektor pertambangan dan kehutanan.
Isu sentral dalam perdebatan ini adalah bagaimana mencapai keseimbangan yang tepat antara pelestarian tradisi adat dan kemajuan ekonomi. Pertanyaan ini membutuhkan dialog terbuka dan inklusif antara semua pihak yang terlibat.
Dasar hukum menjadi titik tolak penting dalam perdebatan ini. Namun, polemik pembentukan struktur masyarakat adat dan hak ulayat di Taliabu terlihat tidak memiliki landasan hukum yang jelas seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, keputusan MK No. 35/PUU-X/2012, serta PERMENDAGRI No. 52 tahun 2014 yang menjadi pedoman bagi pembentukan PERDA adat dan hak ulayat. Kehadiran pengurus adat Kesultanan Ternate, yang seringkali dianggap campur tangan yang tidak transparan, dapat menimbulkan ketidakpuasan dan konflik antar masyarakat lokal, serta berpotensi mengganggu ketertiban hukum.
Dalam menanggapi polemik ini, beberapa pertimbangan penting perlu diperhatikan. Pertama, partisipasi aktif masyarakat setempat harus menjadi prioritas utama dalam setiap keputusan yang diambil. Pendekatan ini akan memungkinkan pengakuan dan penghormatan terhadap kearifan lokal serta memenuhi kebutuhan nyata masyarakat.
Kedua, perlindungan hak asasi individu dan kolektif harus menjadi pertimbangan utama. Ini mencakup hak atas tanah, sumber daya alam, dan kesejahteraan sosial.
Ketiga, pembangunan ekonomi harus sejalan dengan pelestarian lingkungan dan keberlanjutan. Pengembangan ekonomi yang bertanggung jawab akan memperkuat, bukan merusak, struktur masyarakat adat dan hak ulayat.
Terakhir, solusi terbaik kemungkinan akan datang dari pendekatan kolaboratif antara pemerintah, masyarakat lokal, dan sektor swasta. Dialog yang terbuka dan saling pengertian dapat menghasilkan kebijakan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dalam mengakhiri polemik ini, penting bagi semua pihak untuk memprioritaskan kepentingan bersama dan memastikan bahwa keputusan yang diambil menghormati nilai-nilai lokal sambil mempromosikan kemajuan yang berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Taliabu.
Oleh : Jamrudin / Politisi Muda