Ancaman hukum yang rentan dihadapi oleh pers adalah hal-hal yang menyangkut tindakan pencemaran nama baik. Padahal, pers jelas-jelas memiliki kekebalan terhadap tuntutan hukum karena posisinya sebagai pihak netral dan fungsinya sebagai kontrol sosial.
Diakibatkan kurangnya kejelasan mengenai penghinaan yang diatur KUHP, menyebabkan penafsiran yang ada subyektif. Seseorang dapat menuding sebuah pemberitaan mencemari nama seseorang apabila ia tidak suka dengan berita tersebut. Selain itu, adanya kekuasaan dari pihak tertentu yang mungkin merasa dirugikan dengan sebuah pemberitaan juga dapat menjadikan suatu pemberitaan sebagai delik pers.
Delik pers menurut Loebby Loqman adalah suatu tindak pidana melalui alat cetak yang dilakukan oleh lembaga pers. Delik pers bukanlah suatu istilah hukum, namun sebagai suatu penamaan terhadap pasal-pasal dalam KUHP yang berhubungan dengan pers.
KUHP sendiri dalam pasal 310 sampai dengan 321 tetap menyatakan penghinaan (blediging) ini bermacam bentuknya, baik menista secara tulisan, memfitnah, melapor dan menuduh secara memfitnah. Hal ini menyebabkan adanya ketidak pastian hukum dan berpotensi mempidanakan jurnalis dalam jeruji besi, karena tuntutan yang ada bisa saja ditafsirkan sepihak dan tidak berdasar.
Kegiatan pers memanglah suatu senjata yang ampuh dalam mengendalikan aspek kenegaraan. Ini dikarenakan suatu pemberitaan pers adalah sumber informasi masyarakat, serta adanya kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang diberitakan pers. Di dalam UU No.40 Tahun 1999 mengenai Pers pun tidak disebutkan satu pasal pun mengenai delik pers ini. Sehingga, kasus delik pers umumnya baru hadir apabila dinilai terdapat pencemaran nama baik.
Padahal, pers hadir sebagai bentuk perwujudan suatu negara yang demokratis. Namun dikarenakan kehadirannya yang mampu memengaruhi opini publik, membuat banyak intrik politik yang mencoba ikut bermain dalam dunia pers. Pihak penguasa yang otoritatif yang ingin menggunakan media pers sebagai alat pemenuhan hemogini politik, dan pihak pemilik modal yang ingin menggunakan pers sebagai alat produksi. Ranjau yang mengelilingi pers inilah yang acap kali membuat pers tersandung kasus-kasus yang sering tak berdasar ini.
Padahal, delik pers juga menyebabkan kerugian baik materil maupun fisik terhadap pers sendiri. Dikutip dari sumber LBH Pers, terdapat 10 jenis kekerasan yang dialami oleh pers, baik berbentuk kekerasan verbal, non verbal dan bahkan gugatan perdata. Pers yang hanya menjalankan tugasnya sebagai sumber informasi kepada khalayak kini terancam keselamatannya. Tak jarang, jurnalis juga mengalami pencemaran nama baik itu sendiri, seperti doxing (penyebaran identitas pribadi).
Kebebasan pers pun ikut terancam seiring kasus pencemaran nama baik ini semakin menjerat. Pers tidak bisa mengembangkan idealismenya karena pengaturan mengenai pencemaran yang belum pasti ini. Delik pers pun seringkali berasal dari delik aduan, sehingga posisi aparatur hukum harus lebih ditegaskan. UU Pers sebagai Lex specialis (hukum yang bersifat khusus) juga harus memperjelas kategori pencemaran, pun mengatur agar delik pers yang sehubungan dengan pencemaran nama baik memiliki titik terang, terutama dalam era sosial media sekarang.
Penulis: Yamsyina Hawnan
Mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Andalas|