Malang, Investigasi.news – Para jurnalis di Malang Raya secara tegas menolak Rancangan Undang-undang Penyiaran (RUU Penyiaran) yang tengah dibahas di DPR RI. Penolakan ini mereka sampaikan melalui aksi damai di depan gedung DPRD dan Balaikota Malang, menunjukkan kekhawatiran yang mendalam terhadap masa depan kebebasan pers di Indonesia.
Aksi ini melibatkan berbagai organisasi wartawan di Malang Raya seperti PWI Malang, IJTI Korda Malang Raya, AJI Malang, PFI Malang, dan lainnya. Tanpa terkecuali, mereka semua turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU Penyiaran. Mereka menuntut agar pemerintah meninjau kembali sejumlah pasal dalam RUU tersebut yang dinilai mengancam kebebasan pers.
Dalam persiapan aksi, berbagai selebaran dan pamflet disebarkan, mengingatkan masyarakat bahwa masa depan pers yang bebas sedang terancam. Sejumlah pasal dalam draft RUU Penyiaran dianggap berpotensi memberangus kebebasan pers, yang selama ini menjadi pilar penting demokrasi. Meski ada gelombang penolakan dari berbagai kalangan, pembahasan RUU Penyiaran masih terus berjalan di DPR RI.
Koordinator aksi, Benni Indo, yang juga ketua AJI Malang Raya, menyampaikan orasi yang menggugah semangat. Dalam orasinya, ia menekankan bahwa organisasi-organisasi wartawan seperti PWI Malang, IJTI Korda Malang Raya, AJI Malang, dan PFI Malang sepakat untuk menolak pasal-pasal yang menghambat tugas jurnalistik dan kebebasan pers.
“Kami sepakat menolak RUU Penyiaran yang akan menghalangi tugas jurnalistik dan kebebasan pers. Ini sangat bertentangan dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999. Investigasi adalah roh dari jurnalisme, dan pelarangan penayangan eksklusif konten investigasi sama dengan membatasi kebebasan pers,” tegas Benni Indo.
Aksi damai ini berlangsung pada Jumat, 16 Mei 2024. Para jurnalis berkumpul di WIN (Warung Isor Nongko) pada pukul 10.00 WIB sebelum bergerak menuju lokasi aksi di DPRD Kota Malang dan Balaikota Malang pada pukul 13.00 WIB. Aksi ini merupakan bagian dari gelombang penolakan yang terus terjadi di berbagai daerah, melibatkan lintas organisasi dan profesi jurnalis.
Cahyono, Ketua PWI Malang Raya, dalam keterangan tertulisnya, menyatakan bahwa kebebasan pers harus dijunjung tinggi. Ia menekankan bahwa aksi damai ini adalah bentuk sikap tegas dari para jurnalis Malang Raya dalam menolak RUU Penyiaran.
“Aksi damai ini menunjukkan sikap tegas kami menolak RUU Penyiaran. Gabungan lintas organisasi menjadi satu kekuatan, kami meminta jaminan kebebasan pers. Kebebasan pers adalah kontrol demi hal yang lebih baik,” ujar Cahyono.
Dalam draft RUU Penyiaran, ada beberapa pasal yang menjadi perhatian serius para jurnalis. Salah satu yang paling kontroversial adalah Pasal 50B ayat satu dan dua, yang memuat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. “Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” demikian isi dari pasal tersebut. Pembatasan ini dianggap sangat membatasi kebebasan pers dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar jurnalisme.
Selain itu, Pasal 50B ayat dua huruf k juga mendapat sorotan tajam. Pasal ini dianggap ambigu dan dapat ditafsirkan secara luas, terutama terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik. Ketidakjelasan ini berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis.
Moch Tiawan, Ketua IJTI Malang Raya, mengungkapkan bahwa pihaknya akan mengirim surat rekomendasi kepada DPRD se-Malang Raya agar rekomendasi tersebut diteruskan ke DPR RI. “Kami akan mengirim surat rekomendasi kepada DPRD se-Malang Raya agar rekomendasi itu diteruskan ke DPR RI,” tuturnya.
Penolakan terhadap revisi UU Penyiaran ini mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap masa depan kebebasan pers di Indonesia. Para jurnalis Malang Raya bertekad untuk terus memperjuangkan kebebasan pers sebagai pilar demokrasi yang tidak boleh diabaikan.
Guh